Wednesday, April 11, 2012

Lorong Stasiun


Terdengar degup jantungku takut tertinggal oleh kereta yang menyanyikan " keretaku tak berhenti lama.." seperti waktu kanak kanak dulu yang sering aku nyanyikan pada usia paud.
huft.... jam 3 pagi ternyata, mungkin keretanya yang terlambat berhenti di stasiun tujuanku. Yah...kereta ini yang aku naiki 3 tahun silam untuk menimba pengalaman di negeri orang, kini masih terpancar jelas sudut dan ruangan khas di gerbong tiga, entah kenapa aku sering naik dan selalu di gerbong ini, mungkin angka 3 memang nomor favoritku, sampai kartu perdanaku pun bermerk 3 (Three). oh... aku lupa, roti yang ku beli tadi sore, terselip di kursi penumpang pinggirku, aku bergegas mengambilnya dengan sapaan lembut memaksa. " permisi pak, itu tolong ambilkan roti di plastik kecil".
" Yang ini?"
" bukan, itu milik dia, yang di plastik putih kecil?" aku menunjukan tepat di sebelah kirinya.
"oh..." respon terakhirnya, mungkin mengira aku ini orang yang sayang sekali pada makanan. Walau roti tinggal satu, lumayanlah, untuk mengganjal perutku nanti pagi di stasiun. niatnya aku hanya ingin memakan di dalam kereta saja, tapi perut ini sudah tertidur dengan santapan cemilan dari tadi.
Sosok orang di sebelahku tadi langsung menutup mata, mungkin masih teringat peristiwa tadi, saat aku bangun tidur, dan aku langsung meraih air aqua di bawah lorong tempat dudukmya, karna ku bangun tidur, aku tak pedulikan menyenggol pahanya. Hm... mungkin di kira aku mau mencopetnya, tak sadar aku melihat wajahnya ia langsung pura pura memejamkan matanya. Tapi aku mengabaikan saja, toh aku tak merasa bersalah, aku hanya haus dan membangunkan tidurnya, itu saja...

Sepertinya kereta telat 15 menit, yah.. benar telat, untung aku sudah mencuci mukaku dengan air toilet di dalam kereta, walau ku tahu airnya belum tentu bersih dan dapat membuat wajahku makin berjerawat. Tapi aku ta peduli, hanya satu hari kok, gampang nanti di bersihkan lagi, yang penting terasa fresh dan tidak kusam. Ku ambil tasku dan sepertinya cukup, itu saja yang aku bawa.

" Ojeg...mas, mau kemana mas, ojeg mas? biar tinggal istirahat, yuk ojeg?" itu suara khas yang selalu ku dengar tiap kali turun angkutan umum. Hanya gelengan kepala dan penolakan yang ku berikan, karna perjalanan pulang masih jauh dan perlu biaya, tidak mungkin menghabiskan 300 ribu hanya untuk ojeg, lebih baik menunggu sampai mentari bangun dan beranjak pulang. Aku duduk di kursi tempat biasa untuk menunggu, seorang balita mungil tepat disisi kiriku bersama neneknya. aku hanya sekedar tanya asal usulnya saja. karna memang aku tak mau banyak bicara di pagi hari yang dingin.

Tiba tiba, di depanku terlihat skema bagaikan drama kehidupan yang menceritakan salah arah. Entahlah, hatiku belum terbangun untuk menolong, ku ikuti gaya masyarakat yang acuh tak acuh, toh itu bukan urusanku. Tapi, suaranya jelas sekali terdengar di telingaku, ternyata ia kebablasan. Yang harusnya turun di stasiun ke-5 sebelum aku turun, ia baru turun. Kasihan memang, ada yang mengatakan " kalau bablas ke purwakarata, masih mending.... kalo udah ke senen, sia sia tuh orang..", aku hanya teringat akupun pernah kesasar sekaligus kebablasan. masih mending, aku sama sekali tak tahu tmpatnya. Kalau yang ini mungkin memang benar benar lalai.

Lewat sudah...orang itu lewat, dan ngobrol dengan ojeg ojeg lokal dan aku pun mengikuti orang yang lalu lalang berjalan. tujuanku biar nanti ga sendirian berjalan. Eh.. aku mendengar " Kalau ke suka bumi aku sanggup, cuma biayanya cocok apa ga?", aku hanya membayankan, paling tidak 500 ribu dari sini.
Kenapa ibu itu tak ambil cepat, atau alternatif lain?. Ah...itu bukan urusanku, walau aku dulu itu seorang relawan waktu masih SLTA dulu, dan sampai sekarang pun masih ada bibit rela berkorban. Tapi yang ada dalam benakku hanyalah, aku tak mengenalnya, sehingga key word itu yang membuat otakku macet dan buta hati. Tanpa pikir panjang, sambil menatap wajahnya aku berjalan mencari tempat istirahat sementara. aku melihat wajahnya hampir menangis dan putus asa, tapi aku juga tahu, ia terlihat sosok jiwa pantang menyerah. Yah...entah mengapa, ilmu psikologiku selalu tahu sifat orang lain, walau belum kenal dan baru sekali melihat wajahnya dan yang bikin aku yakin dengan tatapan aura jiwa ini, aku tak pernah salah dengan itu, hampir 100% aku tak pernah salah. Namun, aku tetap mengakui, aku manusia lemah dan tak punya apa apa, dan semua kelebihan dan kekurangan hanyalah titipan atau bagiku ku sebut sewaan.

Yah, sewaan.... karna Sang Pencipta Menciptakan sesuatu ada maksudnya, jadi ku anggap sewaan. termasuk amal yang kita perbuat, itu salah satu bentuk pembayaran sewaan yang di berikan oleh Tuhan.
Ah... aku tak mau melebihi batas pikirku, karna takan pernah sampai aku memikirnya, aku tak mau menghilangkan imanku pada-Nya. langsung saja ku dudukan jiwa yang letih dan tas berat di punggungku, sambil memperhatikan orang lewat, barang kali ada pemandangan indah. Otomatis, selau ada hiburan di setiap pandangan dan rileks rasanya.

Aku terpikir kembali dengan orang tadi, mengapa bisa kebablasan? mungkin ketiduran, atau lupa. kok itu bisa terjadi? ah... sudahlah, aku selalu bertanya dan menjawab sendiri, pantas saja tiap kali pelajaran atau ada acara tertentu yang membutuhkan pertanyaan, aku tak ada ide untuk bertanya karenanya aku sudah tahu jawabannya. Oh...mungkin aku gila, atau terlalu cerdas, sehingga aku merasa amat bodoh. Sudahlah, tak indah rasanya bertengkar dalam hati.

Ups... ibu itu terus berkomunikasi dengan orang lain, mungkin menggali inforamsi. Lama kemudian, setelah aku memakan roti yang tinggal satu satunya ini yang tadi aku beli tiga dengan harga tiga ribu rupiah, kini habis dalam santapan hangatku. ku mencari air minum..oh..ternyata tertinggal di kereta, tepat di bawah orang berambut sua sisir itu. Biarkanlah, aku selalu ada cadangan untuk itu, masih ada segelas aqua yang tersimpan di tas. 

Ibu itu mendekat, wajahnya terlihat muda, dan aku tak yakin ia seorang ibu ibu, ia bertanya padaku, dan ku jawab singkat. ternyata sama sama asal jawa. Sedikit demi sedikit, mulai bercerita tentang jalan, aku hanya menunjukan alternatif saja. Tapi ia bilang takut ga sampai. setelah aku pahami, ternyata ia kehabisan ongkos. Minim sekali, aku pun begitu, tapi aku tak mau menunjukan hal itu, biarlah ia cerita semua.
Hm...manusia memang seperti itu sering seringnya, sudah jatuh, tertimpa tangga pula.
Sudah bablas, kehabisan ongkos, aku cukup prihatin, karna aku pun pernah mengalami akan hal itu.
Lama sudah cerita tentang dirinya, aku mulai percaya, ia menceritakan semua masalah hidupnya dan hampir meneteskan air mata, lalu aku tunda dulu dengan mengajak sholat subuh. Tapi sepertinya ia enggan, karna bingung bagaiman pulang nanti.

Setelah usai subuh, aku mulai terpikirkan.. mengapa aku tega membiarkannya? tapi bagaimana aku menolongnya? uangku pun pas pasan, belum tentu cukup untuk biaya hidup satu bulan ini. Hey... nasibku lebih indah darinya, paling tidak aku bisa mengeruk sedikit penderitaanya. di dompetku hanya ada 7500 rupiah, cukup untuk angkot pulang, bagaimana aku bisa menolong?

Oh ya....lagi lagi ada cadangan kecelakaan di saat kepepet, walau banyak nenek-nenek pengemis minta receh, aku tak peduli, karna aku tahu mereka masih sehat dan yang anehnya lagi, kalau mereka tak mampu mengapa tiap kali lewat, bau harum melati mengikuti bayangnya? Mungkin malah pendapatan mereka lebih besar dibanding aku yang seorang buruh pabrik. 

Aku menemukan uang 100 ribu dalam dopetku, langsung saja aku ke mini market, membeli minuman dingin, paling tidak buat pendingin hati. ku sodorkan padanya, tapi aku peringatkan juga hal yang suda umum.
" Jangan menerima makanan atau minuman dari orang yang belum anda kenal, karna dapat membahayakan diri anda, ingat itu lho bu.. kita kan belum kenal. tapi ini ga ada racunnya kok, baru aja beli di situ, kalo gak percaya bawa aja, nanti minum di rumah".
Sepertinya ia langsung menilaiku tak ikhlas, atau serasa jangan menerima pemberianku. Entahlah, aku orang yang suka mengabaikan sesuatu. Aku hanya berniat baik, takut di salahkan dan takut di sangka yang tak sesuai dengan kenyataan yang ada.

Ia melanjutkan cerita, ternyata ia bekerja di perumahan, memiliki 3 anak dan bisa mensekolahkan sampai jenjang sarjana dan masih 2 anak yang duduk di SLTA dan Perguruan Tinggi, sementara anak tertua baru saja melahirkan bayi. Oh...aku kagum, dengan job background itu, ia mampu membantingtulang, memeras keringat dan memutar otak hanya untuk keberhasilan anaknya. Itu patut di acungi jempol, bahkan ia mengatakan " sesulit sulitnya aku menjalani hidup ini, aku selalu berusaha untuk bisa menyekolahkan anakku, mungkin kalau orang yang tak kuat dengan semua ini bisa bunuh diri dan putus asa, tap aku sekuat mungkin untuk tetap bertahan dan berjuang. Aku tak pernah ada cita cita untuk bunuh diri, pokoknya jangan sampai. Na'udzubillah" Ya, aku salut padanya dan aku tahu, ia tlah di khianati oleh suaminya yang suka menikah lagi. Tapi, barusan aku dengar, setelah panjang cerita, suami yang tlah cerai itu tlah tiada, ia terkena serangan jantung.

Huft...nafas lega darinya yang ingin mengakhiri kisah itu, tapi karna berhubung waktu sudah cukup terang, aku beniat minta tolong padanya, sekaligus barang kali dapt membantunya. aku menitipkan sedikit uang untuknya, untuk di masukan ke kotak amal tapi ia bisa memakainya dahulu, besok kalo udah bisa ganti dapat langsung di masukan ke kotak amal. Tapi aku berpikir, itu terlalu kecil, tak cukup untuk ongkos kereta, aku menambahkan setengah dari itu, mungkin cukup untuk satu kali perjalanan kereta dan dua kali ongkos angkot jarak pendek. Aku terpikirkan hal itu, karna aku tahu, bila aku memberikan sejumlah uang kecil, pasti ia bingung untuk mengembalikan, walau aku tak mengharapkannya, tapi sebagai seorang ibu, ia pasti merasa berhutang, dan aku takut akan hal itu, karna ku yakin tak kan pernah bertemu lagi.

Alhamdulilah, ia menerimanya dengan terharu. dan aku minta maaf, aku tak bisa membantu, aku hanya menitipkan uang saja untuk di masukan ke kotak amal. Dalam pikirku, walau aku nitip, insyaAllah, ia akan mendapat pahala juga karna selaku distributor amalku. 
Semoga Allah Melindunginya dan memberkati serta memudahkan jalan hidupnya. Amin.
Semoga juga Allah meridloi caraku ini. Amin.

Hari mulai siang, aku pun berpamitan untuk pulang dahulu, sementara ia menunggu loket buka, kami baru berkenalan dan menukar nomor. Hp kami sama sama lowbert, untung hpnya masih menyala, aku memasukan kontakku padanya dengan nama lengkapku yang cukup unik dan langka, kalau di search via google pun belum terdaftar. Namun sekarang sudah ku daftarkan agar aku ada, karna aku termasuk suka kepopuleran. Aku mencatat nomornya di telapak tanganku, setelah ku pulang, nomornya mulai samar dan hilang, tapi aku salin pada kertas, karna hp-ku benar benar mati. Aku cukup makruh, setelah aku pulang, mengapa aku hanya menitipkan, bukan memberi dan mengapa hanya sedikit? ah... aku melakukan itu sesuai kemampuanku saja, agar semua itu terasa indah di hatiku dan ikhlas rasanya. semoga Allah menolongnya, dan yang tlah ku lakukan itu dapat membantu. amin

Demikian tadi, sekilas non fiksi yang publisher alami dalm suatu hari peristiwa di lorong stasiun, semoga da hikmah dan manfaat di balik kisah nyata tersebut. Amin
Jangan lupa komentar, terimakasih.



No comments:

Post a Comment